Saturday, March 28, 2015

Jam Gadang destinasi Wisata kota Bukittinggi

 Kuda Bendi  nongol di Jam Gadang Bukittinggi
Jam Gadang adalah landmark kota Bukittinggi dan provinsi Sumatra Barat di Indonesia. Simbol khas Sumatera Barat ini pun memiliki cerita dan keunikan karena usianya yang sudah puluhan tahun. Jam Gadang dibangun pada tahun 1926 oleh arsitek Yazin dan Sutan Gigi Ameh. Peletakan batu pertama jam ini dilakukan putra pertama Rook Maker yang saat itu masih berumur 6 tahun. Jam ini merupakan hadiah dari Ratu Belanda kepada Controleur (Sekretaris Kota).
Simbol khas Bukittinggi dan Sumatera Barat ini memiliki cerita dan keunikan dalam perjalanan sejarahnya. Hal tersebut dapat ditelusuri dari ornamen pada Jam Gadang. Pada masa penjajahan Belanda, ornamen jam ini berbentuk bulat dan di atasnya berdiri patung ayam jantan. Namun saat Belanda kalah dan terjadi pergantian kolonialis di Indonesia kepada Jepang, bagian atas tersebut diganti dengan bentuk klenteng. Lebih jauh lagi ketika masa kemerdekaan, bagian atas klenteng diturunkan diganti gaya atap bagonjong rumah adat Minangkabau.
Dari menara Jam Gadang, para wisatawan bisa melihat panorama kota Bukittinggi yang terdiri dari bukit, lembah dan bangunan berjejer di tengah kota yang sayang untuk dilewatkan.
Saat dibangun biaya seluruhnya mencapai 3.000 Gulden dengan penyesuaian dan renovasi dari waktu ke waktu. Setiap hari ratusan warga berusaha di lokasi Jam Gadang. Ada yang menjadi fotografer amatiran, ada yang berjualan balon, bahkan mencari muatan oto (kendaraan umum) untuk dibawa ke lokasi wisata lainnya di Bukittinggi.
“Jam Gadang ini selalu membawa berkah buat kami yang tiap hari bekerja sebagai tukang foto dan penjual balon di sini. Itu sebabnya jam ini menjadi jam kebesaran warga Minang,” ujar Afrizal, salah seorang tukang potret amatir di sekitar Jam Gadang.
Untuk mencapai lokasi ini, para wisatawan dapat menggunakan jalur darat. Dari kota Padang ke Bukittinggi, perjalanan dapat ditempuh selama lebih kurang 2 jam perjalanan menggunakan angkutan umum. Setelah sampai di kota Bukittinggi, perjalanan bisa dilanjutkan dengan menggunakan angkutan kota ke lokasi Jam Gadang.
Lebih Jauh Tentang Jam Gadang
Angka-angka pada Jam Gadang banyak media mengatakan memiliki keunikan. Angka empat pada angka Romawi biasanya tertulis dengan IV, namun di Jam Gadang tertera dengan IIII.
Sepintas, mungkin tidak ada keanehan pada bangunan jam setinggi 26 meter tersebut. Apalagi jika diperhatikan bentuknya, karena Jam Gadang hanya berwujud bulat dengan diameter 80 sentimeter, di topang basement dasar seukuran 13 x 4 meter, ibarat sebuah tugu atau monumen. Oleh karena ukuran jam yang lain dari kebiasaan ini, maka sangat cocok dengan sebutan Jam Gadang yang berarti jam besar.
Bahkan tidak ada hal yang aneh ketika melihat angka Romawi di Jam Gadang. Tapi coba lebih teliti lagi pada angka Romawi keempat. Terlihat ada sesuatu yang tampaknya menyimpang dari pakem. Mestinya, menulis angka Romawi empat dengan simbol IV. Tapi di Jam Gadang malah dibuat menjadi angka satu yang berjajar empat buah (IIII). Penulisan yang diluar patron angka romawi tersebut hingga saat ini masih diliputi misteri.
Tapi uniknya, keganjilan pada penulisan angka tersebut malah membuat Jam Gadang menjadi lebih “menantang” dan menggugah tanda tanya setiap orang yang (kebetulan) mengetahuinya dan memperhatikannya. Bahkan uniknya lagi, kadang muncul pertanyaan apakah ini sebuah patron lama dan kuno atau kesalahan serta atau atau yang lainnya.
Dari beragam informasi ditengah masyarakat, angka empat aneh tersebut ada yang mengartikan sebagai penunjuk jumlah korban yang menjadi tumbal ketika pembangunan. Atau ada pula yang mengartikan, empat orang tukang pekerja bangunan pembuatan Jam Gadang meninggal setelah jam tersebut selesai.
Jika dikaji apabila terdapat kesalahan membuat angka IV, tentu masih ada kemungkinan dari deretan daftar misteri. Tapi setidaknya hal ini tampaknya perlu dikesampingkan.
Namun yang patut diketahui lagi, mesin Jam Gadang diyakini juga hanya ada dua di dunia. Kembarannya tentu saja yang saat ini terpasang di Big Ben, Inggris. Mesin yang bekerja secara manual tersebut oleh pembuatnya, Forman (seorang bangsawan terkenal) diberi nama Brixlion.
Jam Gadang ini peletakan batu pertamanya dilakukan oleh seorang anak berusia enam tahun, putra pertama Rook Maker yang menjabat controleur Belanda di Bukittinggi ketika
Angka IIII bukanlah sebuah keanehan
Keberadaan angka IIII bukan hanya terdapat di Jam Gadang saja, berikut gambar jam yang memiliki angka IIII bukan IV.
Berdasarkan Wikipedia, sejarah penulisan angka IIII tersebut berdasarkan kepada King Louis XIV (5 September 1638 – 1 September 1715) yang meminta kepada seorang untuk membuat sebuah jam baginya. Pembuat jam memberi nomor pada setiap jam sesuai dengan aturan angka Romawi. Setelah melihat jam yang diberikan kepadanya, Raja tidak setuju dengan penulisan IV sebagai angka “4” dengan alasan ketidakseimbangan visual.
Menurutnya, angka VIII ada di seberang angka IV. Jika ditulis IV, maka ada ketidakseimbangan secara visual dengan VIII yang lebih berat. Oleh karena itu, Louis XIV meminta agar diubah IV menjadi IIII sehingga lebih seimbang dengan VIII yang ada di seberangnya. Selain itu, jika dikaitkan dengan angka XII, maka keseimbangan itu akan lebih baik.
Akan tetap yang menjadi pertanyaannya mengapa Raja yang memerintahkan perubahan itu lebih dikenal dengan Louis XIV daripada Louis XIIII, sesuai dengan permintaannya kepada pembuat jam.
Dari sebuah situs lain… yang berjudulkan “FAQ: Roman IIII vs. IV on Clock Dials” dapat dilihat disana, Seorang yang bernama Milham mengatakan bahwa penjelasan seperti di atas tidak sepenuhnya benar. Menurutnya, penulisan IIII untuk angka “4” telah ada jauh sebelum Louis XIV. Dari wikipedia bahwa penomoran Romawi memang bervariasi dari awalnya. Pada masa awal angka “4” memang ditulis IIII dengan empat huruf I.
Penulisan “4” menjadi IV hanya terjadi di masa modern, yang menunjukkan bahwa “empat adalah kurang satu dari lima”. Manuskrip Forme of Cury (1390) menggunakan IX untuk “9” namun IIII untuk “4”. Sedangkan dokumen lain dari manuskrip yang sama di tahun 1380 menggunakan IX dan IV untuk “9” dan “4”, berturut-turut.
Lebih lanjut, ada manuskrip ketiga yang menggunakan IX untuk “9” dan campuran antara IIII dan IV untuk “4”. Angka “5” juga ditemukan disimbolkan dengan IIIII, IIX untuk “8” dan VV, bukannya X, untuk “10”.
Kesaksian lain dari situs tersebut, Franks, menyatakan bahwa ia tidak pernah melihat jam matahari yang dibuat sebelum abad ke-19 yang menggunakan angka IV, semuanya IIII. Sehingga, para ahli jam heran dengan arsitek masa ini yang membuat jam menara besar-besar menulis “4” dengan IV, bukan IIII. Salah satu yang menggunakan IV, bukan IIII, adalah Big Ben. Jadi, implisit dikatakan bahwa Big Ben telah melanggar konvensi per-jam-an!
Penjelasan lain cukup menarik. Harvey, di situs yang sama, mengatakan bahwa IV adalah singkatan dari dewa Romawi, Jupiter, yang ditulis IVPPITER. Jadi, jika IV diletakkan di dalam jam bangsa Romawi, maka jam itu akan bertuliskan 1, 2, 3, DEWA, 5…
Jika dilihat dari kacamata bangsa Romawi, mungkin mereka tidak ingin nama tuhan mereka ditaruh di jam seperti itu. Namun, kalau dilihat dari kacamata Louis XIV , maka mungkin ia tidak ingin ada nama dewa pagan di permukaan jam. Mana yang benar ? kita tidak tahu.
Masih di situs yang sama, menurut Mialki, alasan penggunaan IIII bukan IV semata-mata masalah teknis. Jika IV yang digunakan, maka pandai besi harus membuat huruf I sebanyak 16 batang, huruf  X sebanyak 4 batang, dan V sebanyak 5 batang. Masalahnya, pada masa itu, pandai besi hanya bisa ekonomis kalau membuat besi dalam kelipatan empat. Jika ditulis IV untuk “4”, maka akan ada satu 3 batang huruf V yang terbuang. Sementara itu, jika “4” ditulis IIII, maka huruf V hanya dibuat empat batang–dengan demikian ekonomis–dan huruf I sebanyak 20 batang–juga ekonomis.
Sekali lagi, mana yang benar dari penjelasan ini ? Belum ada yang pasti. Namun, satu yang kita tahu sekarang adalah bahwa angka IIII di Jam Gadang bukanlah sesuatu yang unik, aneh atau dianggap sebagai misteri yang dikait-kaitkan dengan takhayul. Justru dengan angka IIII itulah menjadikan sebuah bukti bahwa bangsa Eropa (Belanda) memang menjajah kita dulu dan tidak memberi kita barang yang jelek, justru yang bagus yang masih dipergunakan dan dibanggakan hingga sekarang.



HP/ Whats App                   : an. Kiki Lia Evinta Saputri  0853-7596-9744
Pin Black Berry Messeger    : 2aef0747
Facebook                             : Qieqie Poetry Shikoembang

Email                                           : kiki.090290@yahoo.com

Thursday, March 26, 2015

Kota Bukittinggi, incaran wisatawan Malaysia


Sulaman Pandai Sikek
TIDAK hairanlah jika ramai rakyat negara ini menjadikan Bukit Tinggi antara destinasi yang wajib dilawati setiap kali berkunjung ke wilayah Sumatera Barat, Indonesia kerana ia menawarkan pelbagai produk tekstil pada harga yang murah.
Kampung Pandai Sikek di Padang Panjang, Kabupaten Tanah Datar terletak kira-kira 8 kilometer (km)dari Bukit Tinggi sangat terkenal dalam kalangan pelancong, terutama dari Malaysia kerana tenunan dan sulaman tangan berkualiti tinggi.
Setiap hari, ada sahaja pelancong dari Malaysia yang berkunjung ke sana termasuk bakal pengantin untuk membeli atau membuat tempahan songket dan lain-lain keperluan untuk menjadi raja sehari.
“Terdapat pelbagai jenis songket yang dijual antara RM400 dan RM1,500 bergantung kepada kualiti dan sampin penuh berkualiti tinggi mengambil masa selama lima bulan untuk disiapkan.
“Walaupun corak songket di sini berbeza coraknya dengan di Malaysia, ramai yang membeli kerana kualitinya tinggi dan lebih murah harganya,” katanya yang mempunyai pengalaman selama 29 tahun dalam membuat songket.
Sumatera Barat memiliki banyak destinasi menarik untuk dikunjungi dan menyediakan pelbagai jenis produk pelancongan yang mampu menggamit kedatangan pelancong khususnya dari Malaysia sepanjang tahun.
Bukit Tinggi dan Padang adalah antara dua destinasi yang menjadi tumpuan rakyat negara ini untuk melancong sambil membeli-belah.
Destinasi seperti Rumah Gadang di Padang Panjang, pusat menghasilkan barangan tenunan dan kulit di Padang Panjang, Pasar Atas Jam Gadang, kubu Belanda Fort de Kock, Tasik Maninjau dan Lubang Jepun di Bukit Tinggi. Selain itu, Pantai Malim Kundang di Padang dan Istana Pagar Ruyung di Batu Sangkar turut terkenal dalam kalangan pelawat dari negara ini.
Penyebar Islam


Namun, terdapat beberapa lagi destinasi yang menarik untuk dikunjungi, antaranya, makam orang yang pertama menyebarkan agama Islam di Minangkabau, Sheikh Burhanudin Ulakan, perusahaan membuat sulaman di Padang Pariaman. Jika bernasib baik, pelancong boleh melakukan aktiviti melepaskan anak penyu serta melihat penyu bertelur di Pariaman.
Selain itu, terdapat lokasi menarik seperti sembilan air terjun setinggi lebih 130 meter di tebing gunung sepanjang 8km di Lembah Harau, muzium arang batu peninggalan Belanda di Sawahlunto dan perkampungan adat di Sijunjung.
Festival Serambi Mekah, lumba basikal Tour de Singkarak, lumba lembu atau pacu jawi dan aktiviti melepaskan anak penyu ke laut di Pusat Konservasi Penyu di Pariaman dan melihat penyu bertelur di Pulau Kasiak turut berpotensi menarik ramai pelancong.
Program melepaskan anak penyu dan melihat penyu bertelur anjuran Unit Perlaksana Teknis Konservasi Penyu, Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Pariaman berjaya menarik kehadiran pelancong dari lebih 15 buah negara.
“Pelancong boleh merasai sendiri pengalaman melepaskan anak-anak penyu dan menginap dalam khemah di Pulau Kasiak untuk melihat penyu mendarat serta bertelur pada waktu malam.
“Mereka akan dikenakan bayaran dengan kadar minimum termasuk makan, minum dan tambang bot untuk ke pulau yang terletak kira-kira 5km dari pantai Pariaman,” katanya.
Selain itu, air terjun di Taman Negara di Lembah Harau adalah tarikan terbaharu bagi pelancong yang ingin menikmati keindahan alam yang masih belum tercemar tetapi jangan lupa mencabar diri dengan sukan lasak seperti memanjat dinding.
Lembah Harau dikelilingi tebing batu sepanjang lapan kilometer berusia antara 30 dan 40 juta tahun dengan ketinggian antara 100 dan 150 meter menyediakan pemandangan yang sangat unik.
Di samping menyaksikan air yang mencurah turun tanpa henti, pengunjung akan dihiburkan dengan bunyian suara siamang yang sahut-menyahut bergayut di hujung dahan di puncak tebing menyambut kedatangan pengunjung.
“Menurut cerita lagenda, Lembah Harau dahulunya ialah dasar laut dan kajian yang dilakukan oleh ahli geologi dari German pada tahun 1980 mendapati batu-batan yang terdapat di situ sama dengan yang terdapat di dasar laut,” katanya.
Nazirwan berkata, selepas mengunjungi Lembah Harau, pelancong boleh terus berkunjung ke Batu Sangkar untuk melihat istana Pagar Ruyung dan muzium lombong arang batu peninggalan Belanda di Sawahlunto.
Di muzium berkenaan, pelawat berpeluang menyaksikan barangan peninggalan penjajah yang digunakan untuk melombong selain peralatan memasak makanan kepada 6,000 orang buruh paksa dan kontrak setiap hari.
Rumah tradisi

Terdapat sebuah pintu masuk ke lombong arang baru di tengah pekan Sawahlunto yang telah dibaiki dan dibuka kepada pelancong pada tahun 2007 bagi memberi peluang kepada pelancong menyaksikan sendiri keadaan di dalam lombong berkenaan.
Selain itu, pelancong boleh berkunjung ke perkampungan adat di Sijunjung, kira-kira dua jam perjalanan dari Bukit Tinggi dan satu jam dari Sawahlunto untuk melihat rumah tradisi masyarakat Minangkabau.
Di perkampungan berkenaan terdapat 46 buah rumah Gadang adalah satu-satunya penempatan masyarakat Minangkabau yang dibina pada abad ke-14 yang masih kekal hingga ke hari ini.
Di sana, pelancong dapat menyaksikan Rumah Gadang yang masih dihuni oleh suku Bodi Caniago, Malayu, Panai, Tobo, Malayu Tak Timbago dan Piliang. Mereka adalah sebahagian daripada 96 suku yang terdapat di Tanah Minang.
Beliau berkata, terdapat banyak lagi lokasi menarik yang boleh dikunjungi seperti Danau Singkarak yang merupakan tasik kedua terbesar di Sumatera selepas Danau Toba di Medan, Danau Maninjau dan rumah ulama terkenal Buya Hamka.
Sementara itu, Pengurus Fast Travel, Salbiah Mehad yang ditemui berkata, beliau kerap membawa pelancong ke Padang dan Bukit Tinggi tetapi tidak pernah berkunjung ke Lembah Harau dan perkampungan masyarakat Minangkabau di Sijunjung.
“Saya bersama anak, Amellia Rasida Muhamad Afandi datang ke sini untuk melihat destinasi pelancongan yang belum pernah kami kunjungi dan berpotensi untuk diperkenalkan kepada pelanggan, termasuk aktiviti melepaskan anak penyu di Pantai Apar.
“Hasil muat naik gambar ke laman Facebook, saya mendapat maklum balas yang sangat baik daripada rakan dan pelanggan, terutama mereka yang gemarkan aktiviti melancong bercorak ekopelancongan,” katanya.

HP/ Whats App                   : an. Kiki Lia Evinta Saputri  0853-7596-9744
Pin Black Berry Messeger    : 2aef0747
Facebook                             : Qieqie Poetry Shikoembang

Email                                           : kiki.090290@yahoo.com


Sekilas tentang Gunung Merapi

Sumatera Barat sangat terkenal dengan hawanya yang sejuk, hal ini tidak terlepas dari letaknya yang dikelilingi oleh perbukitan,sehingga disini kita dapat melihat pemandangan nan sangat menawan.
Gunung Merapi terletak didua kabupaten, yaitu Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Agam. Keberadaan Gunung Merapi sangat kental karena mempunyai nilai historis bagi masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat. Menurut sejarahnya, nenek moyang orang Minangkabau berasal dari lereng Gunung Merapi, hal ini ditandai dengan terdapatnya Nagari Pariangan di Kabupaten Tanah Datar. Nagari Pariangan merupakan cikal bakal dari lahirnya sistem pemerintahan masyarakat berbasis nagari di Sumatera Barat. Sebuah animo unik yang berkembang dimasyarakat, bahwa jika seseorang belum pernah mendaki Gunung Merapi maka orang tersebut belum ‘lengkap’ disebut sebagai orang Minangkabau.


HP/ Whats App                   : an. Kiki Lia Evinta Saputri  0853-7596-9744
Pin Black Berry Messeger    : 2aef0747
Facebook                             : Qieqie Poetry Shikoembang

Email                                           : kiki.090290@yahoo.com